Seorang pria mendatangi seorang Guru, katanya
“Guru, saya sudah bosan hidup, benar-benar jenuh. Rumah tangga saya berantakan. Usaha saya kacau. Apapun yang saya lakukan selalu gagal. Saya ingin mati.”
Sang Guru tersenyum “Oh kamu sakit”.
“Tidak, Guru, saya tidak sakit. Saya sehat, hanya jenuh dengan kehidupan saya. Itu sebabnya saya ingin mati”.
Seolah-olah tidak mendengarkan pembelaannya, sang Guru meneruskan
“Kamu sakit. Penyakitmu itu bernama “Alergi Kehidupan”. Ya, kamu alergi terhadap kehidupan”.
“Penyakitmu itu bisa disembuhkan, asal kamu benar-benar bertekad ingin sembuh dan bersedia mengikuti petunjukku”, kata sang Guru.
“Tidak Guru, tidak. Saya sudah betul-betul jenuh. Tidak, saya tidak ingin hidup lebih lama lagi”, pria itu menolak tawaran sang Guru.
“Jadi kamu tidak ingin sembuh. Kamu betul-betul ingin mati?”, tanya sang Guru.
“Ya, memang saya sudah bosan hidup”, jawab pria itu lagi.
“Baiklah. Kalau begitu besok sore kamu akan mati. Ambillah botol racun ini…
Malam nanti, minumlah separuh isi botol ini. Sedangkan separuh sisanya kau minum besok sore jam enam. Maka esok jam delapan malam kau akan mati dengan tenang” jawab Guru.
“Tetapi setelah kamu minum setengah yang pertama, kamu harus berbuat baik kepada semua orang dan tidak boleh marah, agar racunnya dapat bekerja dengan baik dan kamu mati dengan tenang”.
Kini giliran pria itu menjadi bingung. Sebelumnya, semua Guru yang ia datangi selalu berupaya untuk memberikan semangat hidup. Namun Guru yang satu ini aneh. Alih-alih memberi semangat hidup, malah menawarkan racun.
Tetapi karena ia memang sudah betul-betul jenuh, ia menerimanya dengan senang hati.
Setibanya di rumah, ia langsung menghabiskan setengah botol racun yang diberikan oleh Guru tadi. Lalu ia merasakan ketenangan yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya. Begitu rileks, begitu santai! Tinggal satu malam dan satu hari lagi ia akan mati. Ia akan terbebas dari segala macam masalah!
Malam itu, ia memutuskan makan malam bersama keluarga di restoran terkenal. Sesuatu yang tidak pernah ia lakukan selama beberapa tahun terakhir. Ini adalah malam teraknirnya. Ia ingin meninggalkan kenangan manis. Sambil makan ia bersenda gurau. Suasananya amat harmonis. Sebelum tidur, ia mencium istrinya dan berbisik,
“Sayang, aku mencintaimu”. Sekali lagi, karena malam itu adalah malam terakhir, ia ingin meninggalkan kenangan manis.
Esoknya, setelah bangun tidur, ia membuka jendela kamar dan melihat keluar. Tiupan angin pagi menyegarkan tubuhnya, dan ia tergoda untuk melakukan jalan pagi. Setengah jam kemudian ia kembali ke rumah, ia menemukan istrinya masih tertidur. Tanpa membangunkan istrinya, ia masuk dapur dan membuat dua cangkir kopi. Satu untuk dirinya dan satu lagi untuk istrinya. Karena pagi itu adalah pagi terakhir, ia ingin meninggalkan kenangan manis! Sang istripun merasa aneh sekali dan berkata,
“Sayang, apa yang terjadi hari ini? Selama ini mungkin aku salah. Maafkan aku sayang”.
Di kantor, ia menyapa setiap orang, bersalaman dengan setiap orang. Stafnya pun bingung,
“Hari ini Bos kita kok aneh ya?”
Dan sikap merekapun langsung berubah. Mereka pun menjadi lembut. Karena siang itu adalah siang terakhir, ia ingin meninggalkan kenangan manis!
Tiba-tiba, segala sesuatu di sekitarnya berubah. Ia menjadi ramah dan lebih toleran, bahkan menghargai pendapat-pendapat yang berbeda. Tiba-tiba hidup menjadi indah. Ia mulai menikmatinya.
Pulang ke rumah jam 5 sore, ia menemukan istrinya menunggu di teras depan. Kali ini justru sang istri yang memberikan ciuman kepadanya sambil berkata,
“Sayang, sekali lagi aku minta maaf, kalau selama ini aku selalu merepotkanmu”.
Anak-anakpun tidak ingin ketinggalan,
“Ayah maafkan kami semua. Selama ini ayah selalu tertekan karena perilaku kami”.
Tiba-tiba, sungai kehidupannya mengalir kembali. Tiba-tiba, hidup menjadi sangat indah. Ia mengurungkan niatnya untuk bunuh diri, tetapi bagaimana dengan setengah botol yang sudah ia minum sore sebelumnya?
Tanpa membuang waktu, ia segera mendatangi sang Guru lagi.
Melihat wajah pria itu, rupanya sang Guru sudah mengetahui apa yang telah terjadi dan langsung berkata,
“Buang saja botol itu. Isinya Cuma air biasa. Kau sudah sembuh. Apabila kau benar-benar “hidup” dengan kesadaran bahwa maut dapat menjemputmu kapan saja, maka kau akan menikmati setiap detik kehidupanmu. Leburlah “EGO”mu, keangkuhanmu, kesombonganmu! Jadilah lembut, selembut air. Dan mengalirlah bersama sungai kehidupanmu. Kau tidak akan bosan. Kau akan merasa hidup. Itulah rahasia kehidupan. Itulah kunci kebahagiaan. Itulah jalan menuju ketenangan”.
Pria itu mengucapkan terima kasih dan menyalami sang Guru, lalu pulang ke rumah, untuk mengulangi pengalaman malam dan hari sebelumnya. Konon ia masih mengalir terus. Ia tidak pernah lupa lagi untuk selalu “Hidup”.
Itulah sebabnya ia selalu bahagia, selalu tenang, selalu HIDUP!
Pesan moral:
Banyak sekali di antara kita yang alergi terhadap kehidupan. Kemudian tanpa disadari kita melakukan hal-hal yang bertentangan dengan norma kehidupan. Hidup ini berjalan terus, sungai kehidupan ini mengalir terus, tetapi kita menginginkan keadaan status-quo.
Kita berhenti di tempat, kita tidak ikut mengalir. Itu sebabnya kita jatuh sakit. Kita mengundang penyakit. Penolakan kita untuk ikut mengalir bersama kehidupan membuat kita sakit.
Usaha pasti ada pasang-surutnya. Dalam berumah-tangga pertengkaran kecil itu memang wajar. Persahabatanpun tidak selalu langgeng. Apa sih yang abadi dalam hidup ini? Kita tidak menyadari sifat kehidupan. Kita ingin mempertahankan suatu keadaan. Kemudian kita gagal, kecewa dan menderita.
Semua yang kita perbuat kepada orang lain adalah yang kita tabur!
Semua yang kita dapatkan dari orang lain adalah yang kita tuai!
Maka kalau kita ingin diperlakukan dengan hormat, dengan sopan, dengan baik, maka perlakukanlah orang lain dengan hormat, sopan dan baik pula!
Kalau kita ingin orang lain memperhatikan kita, maka kitapun harus memperhatikan orang lain. Kalau ingin pendapat kita didengarkan, maka dengarkan dulu pendapat orang lain!
Kemampuan untuk menerima segala sesuatu, itulah inti dari kehidupan. Dengan menerima, maka sungai kehidupan kitapun ikut mengalir, dengan menolak maka kita menjadi mandek, berhenti.
Sedangkan sungai kehidupan tetap mengalir……
Sumber :
http://www.yauhui.net/
“Guru, saya sudah bosan hidup, benar-benar jenuh. Rumah tangga saya berantakan. Usaha saya kacau. Apapun yang saya lakukan selalu gagal. Saya ingin mati.”
Sang Guru tersenyum “Oh kamu sakit”.
“Tidak, Guru, saya tidak sakit. Saya sehat, hanya jenuh dengan kehidupan saya. Itu sebabnya saya ingin mati”.
Seolah-olah tidak mendengarkan pembelaannya, sang Guru meneruskan
“Kamu sakit. Penyakitmu itu bernama “Alergi Kehidupan”. Ya, kamu alergi terhadap kehidupan”.
“Penyakitmu itu bisa disembuhkan, asal kamu benar-benar bertekad ingin sembuh dan bersedia mengikuti petunjukku”, kata sang Guru.
“Tidak Guru, tidak. Saya sudah betul-betul jenuh. Tidak, saya tidak ingin hidup lebih lama lagi”, pria itu menolak tawaran sang Guru.
“Jadi kamu tidak ingin sembuh. Kamu betul-betul ingin mati?”, tanya sang Guru.
“Ya, memang saya sudah bosan hidup”, jawab pria itu lagi.
“Baiklah. Kalau begitu besok sore kamu akan mati. Ambillah botol racun ini…
Malam nanti, minumlah separuh isi botol ini. Sedangkan separuh sisanya kau minum besok sore jam enam. Maka esok jam delapan malam kau akan mati dengan tenang” jawab Guru.
“Tetapi setelah kamu minum setengah yang pertama, kamu harus berbuat baik kepada semua orang dan tidak boleh marah, agar racunnya dapat bekerja dengan baik dan kamu mati dengan tenang”.
Kini giliran pria itu menjadi bingung. Sebelumnya, semua Guru yang ia datangi selalu berupaya untuk memberikan semangat hidup. Namun Guru yang satu ini aneh. Alih-alih memberi semangat hidup, malah menawarkan racun.
Tetapi karena ia memang sudah betul-betul jenuh, ia menerimanya dengan senang hati.
Setibanya di rumah, ia langsung menghabiskan setengah botol racun yang diberikan oleh Guru tadi. Lalu ia merasakan ketenangan yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya. Begitu rileks, begitu santai! Tinggal satu malam dan satu hari lagi ia akan mati. Ia akan terbebas dari segala macam masalah!
Malam itu, ia memutuskan makan malam bersama keluarga di restoran terkenal. Sesuatu yang tidak pernah ia lakukan selama beberapa tahun terakhir. Ini adalah malam teraknirnya. Ia ingin meninggalkan kenangan manis. Sambil makan ia bersenda gurau. Suasananya amat harmonis. Sebelum tidur, ia mencium istrinya dan berbisik,
“Sayang, aku mencintaimu”. Sekali lagi, karena malam itu adalah malam terakhir, ia ingin meninggalkan kenangan manis.
Esoknya, setelah bangun tidur, ia membuka jendela kamar dan melihat keluar. Tiupan angin pagi menyegarkan tubuhnya, dan ia tergoda untuk melakukan jalan pagi. Setengah jam kemudian ia kembali ke rumah, ia menemukan istrinya masih tertidur. Tanpa membangunkan istrinya, ia masuk dapur dan membuat dua cangkir kopi. Satu untuk dirinya dan satu lagi untuk istrinya. Karena pagi itu adalah pagi terakhir, ia ingin meninggalkan kenangan manis! Sang istripun merasa aneh sekali dan berkata,
“Sayang, apa yang terjadi hari ini? Selama ini mungkin aku salah. Maafkan aku sayang”.
Di kantor, ia menyapa setiap orang, bersalaman dengan setiap orang. Stafnya pun bingung,
“Hari ini Bos kita kok aneh ya?”
Dan sikap merekapun langsung berubah. Mereka pun menjadi lembut. Karena siang itu adalah siang terakhir, ia ingin meninggalkan kenangan manis!
Tiba-tiba, segala sesuatu di sekitarnya berubah. Ia menjadi ramah dan lebih toleran, bahkan menghargai pendapat-pendapat yang berbeda. Tiba-tiba hidup menjadi indah. Ia mulai menikmatinya.
Pulang ke rumah jam 5 sore, ia menemukan istrinya menunggu di teras depan. Kali ini justru sang istri yang memberikan ciuman kepadanya sambil berkata,
“Sayang, sekali lagi aku minta maaf, kalau selama ini aku selalu merepotkanmu”.
Anak-anakpun tidak ingin ketinggalan,
“Ayah maafkan kami semua. Selama ini ayah selalu tertekan karena perilaku kami”.
Tiba-tiba, sungai kehidupannya mengalir kembali. Tiba-tiba, hidup menjadi sangat indah. Ia mengurungkan niatnya untuk bunuh diri, tetapi bagaimana dengan setengah botol yang sudah ia minum sore sebelumnya?
Tanpa membuang waktu, ia segera mendatangi sang Guru lagi.
Melihat wajah pria itu, rupanya sang Guru sudah mengetahui apa yang telah terjadi dan langsung berkata,
“Buang saja botol itu. Isinya Cuma air biasa. Kau sudah sembuh. Apabila kau benar-benar “hidup” dengan kesadaran bahwa maut dapat menjemputmu kapan saja, maka kau akan menikmati setiap detik kehidupanmu. Leburlah “EGO”mu, keangkuhanmu, kesombonganmu! Jadilah lembut, selembut air. Dan mengalirlah bersama sungai kehidupanmu. Kau tidak akan bosan. Kau akan merasa hidup. Itulah rahasia kehidupan. Itulah kunci kebahagiaan. Itulah jalan menuju ketenangan”.
Pria itu mengucapkan terima kasih dan menyalami sang Guru, lalu pulang ke rumah, untuk mengulangi pengalaman malam dan hari sebelumnya. Konon ia masih mengalir terus. Ia tidak pernah lupa lagi untuk selalu “Hidup”.
Itulah sebabnya ia selalu bahagia, selalu tenang, selalu HIDUP!
Pesan moral:
Banyak sekali di antara kita yang alergi terhadap kehidupan. Kemudian tanpa disadari kita melakukan hal-hal yang bertentangan dengan norma kehidupan. Hidup ini berjalan terus, sungai kehidupan ini mengalir terus, tetapi kita menginginkan keadaan status-quo.
Kita berhenti di tempat, kita tidak ikut mengalir. Itu sebabnya kita jatuh sakit. Kita mengundang penyakit. Penolakan kita untuk ikut mengalir bersama kehidupan membuat kita sakit.
Usaha pasti ada pasang-surutnya. Dalam berumah-tangga pertengkaran kecil itu memang wajar. Persahabatanpun tidak selalu langgeng. Apa sih yang abadi dalam hidup ini? Kita tidak menyadari sifat kehidupan. Kita ingin mempertahankan suatu keadaan. Kemudian kita gagal, kecewa dan menderita.
Semua yang kita perbuat kepada orang lain adalah yang kita tabur!
Semua yang kita dapatkan dari orang lain adalah yang kita tuai!
Maka kalau kita ingin diperlakukan dengan hormat, dengan sopan, dengan baik, maka perlakukanlah orang lain dengan hormat, sopan dan baik pula!
Kalau kita ingin orang lain memperhatikan kita, maka kitapun harus memperhatikan orang lain. Kalau ingin pendapat kita didengarkan, maka dengarkan dulu pendapat orang lain!
Kemampuan untuk menerima segala sesuatu, itulah inti dari kehidupan. Dengan menerima, maka sungai kehidupan kitapun ikut mengalir, dengan menolak maka kita menjadi mandek, berhenti.
Sedangkan sungai kehidupan tetap mengalir……
Sumber :
http://www.yauhui.net/
0 komentar:
Posting Komentar